Janturan dalam istilah pewayangan adalah ucapan dalang (monolog) untuk membuka cerita (lakon) wayang kulit, nyandra janturan (deskripsi jejer adegan pertama). Nyandra adalah deskripsi adegan dengan menggunakan bahasa prosa dalam pertunjukan wayang. Terdapat dua jenis nyandra, yaitu Janturan dan Pocapan. Janturan adalah deskripsi adegan dengan iringan gamelan, sedangkan pocapan adalah narasi adegan tanpa iringan gamelan. Contoh Janturan bisa kita lihat seperti monolog dalang sebagai berikut; “Suh rep data pitana! anenggih wau kocapa negara ing pundi ingkang kaeka adi dasa nama purwa, eka sawiji adi linuwih dasa sapuluh nama iku panjenengan purwa nami wiwitan. Sandyan katah titahing dewa kasongan ing akasa, sinangga ing pertiwi, kaideng ing samudra, tebih ing parang muka, dasar negara Dwarawati silokane jero tancebe, jembar laladane, gede obore, duwur kukuse, padang jagate, adoh kakoncarane. Sigeg ingkang murweng kawi paparab kang dadi nalendra, inggih kang ngarenggani pura, jejeneng Sri Maha Batara Kresna ya Prabu Jenggalamanik, Prabu Harimurti, Prabu Padmanaba, Prabu Basudewaputra, saweg dipunadep dening ingkang rayi Arya Setiyaki lan ingkang raka Patih Udawa. Sreg tumeluk kaya kuncim pertala mukanipun sarta kadiya tata malih krama paningalipun Padmanegara lan Udawa saking ajrih dateng pangkonan. Samya prapta ngabiyantara, jajar denira pinara”. Contoh janturan adegan berikutnya; “Nyariosaken wontening pasanggrahan Ran-duwatangan. Prabu Darmakusuma, Bratasena, Arjuna, Nakula lan Sadewa, teu kakantun para pahlawan, Drestajumena, Bangbang Irawan, Raden Pancawala, Raden Sumitra, teu kakantun para tamtama, bintara, parantos siap siaga ngantos dawuhan Sri Mahabatara Kresna. Satumbakna, sagadana, sapedangna, sapanahna, samapta parabot perang teu kakantun”.
Kampung Janturan merupakan singkatan dari jan-jane nggone wong aturan (sebenarnya tempat orang yang punya aturan). Orang yang punya subasita, tata krama, dan unggah-ungguh. Apabila naik sepeda di depan orang yang lebih tua, sepeda dituntun dan melepas caping. Begitu tutur Bapak Suyatiman, salah satu warga Janturan. Setiap tahunnya di sini diadakan Merti Desa. Tempatnyapun digilir, di Janturan, Glagah sebelah utara, dan Glagah sebelah selatan. Setiap satu tahun diadakan sugengan yaitu sekitar tanggal 10 sura, 12 mulud, 15 ruwah, dan 1 syawal. Dari dulu setiap agustusan (HUT RI tanggal 17 Agustus) di Janturan selalu diadakan plorotan. Di Janturan pada jaman dulu dikenal dengan tanaman gayam, lembong, garut, suweg, selain itu juga blumbang (kolam) dan ikannya.
Salah satu sesepuh Desa, Bapak Marto Karno, mengatakan bahwa jaman dahulu Janturan masih sepi, tidak ramai seperti sekarang ini. Menurutnya saat itu kerukunan di kampung Janturan sangat baik. Lokasi yang sekarang menjadi rumah tinggal Pak Tomo ke selatan, jalan dari barat masuk ke tempat Pak Asmongin terdapat blumbang (kolam dalam bahasa Jawa). Kolam tersebut digunakan oleh selir-selir Pakualam. Selir-selir tersebut juga melakukan kegiatan berlatih memanah di lokasi yang sekarang menjadi rumah Ibu Broto hingga rumah Ibu Mangun warga RT 15. Nah, daerah barat jalan dari rumah Bapak Tono dan rumah KRT Wiryo Hadiningrat hingga tempat Bapak Suparno itu dinamakan “Tegal Sanggrahan”. Sedangkan Janturan adalah mulai dari rumah Bapak Triyono sampai rumah Bapak Herman, ke timur hingga tempat tinggal Bapak Joyo, ke selatan hingga tempat tinggal Bapak Suyatiman. Bapak Marto Karno juga berpesan agar kerukunan yang sudah terjaga sejak lama dapat terus dipupuk hingga saat ini di tengah pluralitas masyarakat Janturan.
Salah satu narasumber dari Ibu-ibu PKK, Ibu Triyono, menyatakan bahwa di kampung Janturan sudah sejak lama dibentuk organisasi dan diadakan kegiatan bagi kaum wanita khususnya Ibu-ibu. Menurutnya Ibu-ibu di Janturan aktif dalam kegiatan di bidang sosial dan pemerintahan. Kegiatan tersebut meliputi posyandu balita, posyandu lansia, kelompok Apsari (Akseptor Satuhu Lestari), kelompok pengajian, paguyuban Wanitatama. Meskipun bukan warga asli Janturan tetapi Ibu Triyono sangat bangga kepada kampung Janturan karena kerukunannya, kebersamaan, serta persatuan dan kesatuannya. Kebanggaan menjadi warga Janturan tidak hanya dimiliki oleh Ibu Triyono, Bapak Sukarjono salah satu warga Janturan yang menjadi pengurus RT menyatakan tidak akan pergi dari Janturan meskipun beliau memiliki tanah di luar Janturan. Baginya merupakan kebanggaan hidup sebagai warga Janturan. Lahir di Janturan bulan september tahun 1955, Bapak Sukarjono menceritakan bahwa waktu itu belum ada penerangan listrik. Namun seiring berjalannya waktu, kemajuan pembangunan fisik khususnya di Janturan sangat pesat.
Narasumber lain, Bapak Bolo Sumardjo, mengatakan bahwa daerah yang dulunya bernama Sanggrahan ini (berdasarkan cerita-cerita yang beredar) sering digunakan untuk adu jangkrik. Saat itu juga pernah didirikan gapura sebagai identitas Janturan, sehingga orang luar yang masuk ke daerah tersebut akan tahu kalau dirinya sudah masuk ke kampung Janturan. Nah, lokasi gapura tersebut tepatnya berada di dekat SDN Negeri Glagah I. Menurut Bapak Bolo, gapura tersebut melambangkan kegotong-royongan warga Janturan. Beliau juga menceritakan waktu itu baru ada dua RT di wilayah Janturan, yaitu RT 6 dan RT 7. Meskipun demikian, kerukunannya sangat luar biasa. Mereka bekerja dan bergotong royong atas nama Janturan, sehingga RT hanya digunakan sebagai sarana administrasi penduduk saja. Selain itu, Janturan dahulu juga terkenal dengan volinya.
Janturan bukanlah hanya sekedar nama tanpa makna. Sejarah mencatatkan beberapa peristiwa penting di tempat ini. Kita tentu tidak ingin kehilangan kenangan itu, karena warga yang baik adalah warga yang mengenang para pendahulunya. Di tengah desakan pluralitas dan warga pendatang, Janturan harus tetap bertahan. Warga asli tidak boleh tersisihkan meski kita tidak memungkiri persaingan yang semakin keras.
Janturan hanya akan jadi nama tanpa makna, apabila kita tidak memberi makna. Salah satu warga Janturan, Bapak Triyono, begitu menginginkan nama jalan Janturan tetap dipertahankan. Kita berharap agar orang-orang selalu mengenang jalan Janturan lebih dari jalan Prof. Dr. Soepomo. Sebagai manusia tentu kita hanya bisa berharap dan berusaha semampu kita, semoga Janturan ke depannya semakin jaya sebagai pusat perekonomian dan pendidikan bagi masyarakat. (wawan widiantoro, candra haricahya, indro prasetyo, irham manuarfa perdhana, rizal pratama putra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar